Senin, 25 Agustus 2014

AMBANG KERACUNAN PHYTOTOXICITY LEVEL.

AMBANG KERACUNAN PHYTOTOXICITY
LEVEL.
Di awal perkembangan perhidroponikan,
banyak yang menggunakan media dan fertigasi.
Nutrisi yang tidak terserap oleh akar akan berakumulasi, fertigasi yang dilakukan beberapa kali
per hari akan menyebabkan akumulasi dengan cepat. EC masuk biasanya 1,5 mS/cm, tetapi EC
hasil akumulasi bisa mencapai angka 5,0. Padahal, misalnya untuk tanaman melon yang
sukulen, nilai ambang keracunan adalah EC 3,5, di atas angka tersebut daun akan mulai
gosong! Untuk menghindari terlampauinya nilai ambang keracunan biasanya digunakan patokan
kerja EC 2,5, cukup aman terhadap kegosongan. Memang ada yang berani meningkat hingga
EC 2,8, tetapi semakin tinggi, semakin mendekati kejenuhan, sehingga kita harus ingat "law of
deminishing return", semakin mendekati titik jenuh, semakin tidak efisien penyerapan hara. Lagi
pula kita harus ingat, bahwa bila tibatiba
RH (relative humidity) turun, evapotranspirasi
meningkat pesat, tanaman banyak kehilangan air, EC tibatiba
melonjak, melampaui nilai
ambang phytotoksisitas, dan tanaman gosong separuh daunnya. Jadi, berhatihatilah!
Karena
dengan EC 2,5, kemungkinan terlampauinya nilai ambang keracunan, akan lebih cepat tercapai
dibandingkan pada EC 1,5. Sebentar2 dicheck
EC, bila matahari terik, dan bersiapsiap
membuka kran air, untuk menurunkan EC larutan nutrisi di tandon.
KELAT/CHELATE EDTA, DTPA, EDDHA.
Ferrum, dengan kode Fe, dapat hadir sebagai Fe ++, ferro, dapat pula terdapat sebagai Fe +++,
ferri, yang mengendap. Ferro sering jahil, colakcolek
unsur mikro lainnya, dan mengfiksasinya
dengan mengendapkannya, dengan akibat tanaman menjadi korban, akan menunjukkkan gejala
"chlorosis", pucat.
Untuk mengurangi kejahilannya, muatan dua ++ itu diberangus dengan suatu "chelating agent",
bernama EDTA, ethylene diamin
tetra acetic acid. Setelah terjinakkan unsur Fe tersebut, untuk
pertama kalinya petani dapat berproduksi dengan baik, tanpa harus ada gejala klorosis. Tetapi
keadaan yang membahagiakan itu berlangsung mulai pH 5,5.
Kesulitan timbul, ketika angka pH naik karena pertumbuhan yang pesat, yang menyebabkan
persentase kelat tidak lagi 100 %, terjadi presipitasi atau endapan, yang menghasilkan gejala
klorosis, disusul dengan tersumbatnya dripper penetes.
Dengan perkembangan teknologi, sekarang diciptakan FeEDTA yang dapat stabil antara pH 4 9.
Beberapa pekebun Belanda menggunakan kelat ferrum yang nilai biologisnya lebih unggul,
dan stabil pada pH yang tinggi, yang bernama DTPA, dan cukup menggunakan 1 2
ppm, dan
bukan 3 5
ppm, untuk tiap 1.000 l larutan AB
mix. Tetapi harga kelatnya dobel.
Di masa pertumbuhan sangat pesat, di mana pH kadang naik dan mencapai angka 7,0, maka 30
50
% dari DTPA diganti dengan kelat EDDHA, yang lebih canggih lagi, misalnya untuk
menghadapi pH 10, tetapi sayangnya tidak disebutkan untuk budidaya macam dan jenis
tanaman apa! Dan harga kelatnya, ala Mak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar